PERANAN BANK INDONESIA DALAM PERBANKAN BAGIAN SISTEM BANK INDONESIA

Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Untuk menjaga stabilitas rupiah itu perlu disokong pengaturan dan pengelolaan akan kelancaran Sistem Pembayaran Nasional (SPN). Kelancaran SPN ini juga perlu didukung oleh infrastruktur yang handal (robust). Jadi, semakin lancar dan hadal SPN, maka akan semakin lancar pula transmisi kebijakan moneter yang bersifat time critical. Bila kebijakan moneter berjalan lancar maka muaranya adalah stabilitas nilai tukar.
BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai otoritas moneter, bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan SPN. Selain itu, BI juga memiliki kewenangan memeberikan persetujuan dan perizinan serta melakukan pengawasan (oversight) atas SPN. Menyadari kelancaran SPN yang bersifat penting secara sistem (systemically important), bank sentral memandang perlu menyelenggarakan sistem settlement antar bank melalui infrastruktur BI-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Selain itu masih ada tugas BI dalam SPN, misalnya, peran sebagai penyelenggara sistem kliring antarbank untuk jenis alat-alat pembayaran tertentu. Bank sentral juga adalah satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan dan mengedarkan alat pembayaran tunai seperti uang rupiah. BI juga berhak mencabut, menarik hingga memusnahkan uang rupiah yang sudah tak berlaku dari peredaran.

SISTEM BANK TUNGGAL
Bank Tunggal adalah unit bank yaitu sistem perbankan, yaitu suatu bank hanya dapat melakukan kegiatan operasionalnya berdiri sendiri tanpa jaringan kantor cabang bank, sistem ini berlaku di negara -negara bagian di Amerika Serikat yang memiliki Peraturan tentang Bank Tunggal (Unit Banking Law).

Pada masa lalu Bank Indonesia dan dunia perbankan nasional pernah mengalami suatu perubahan revolusioner, yaitu sistem perbankan tunggal. Dalam sistem itu semua bank, baik bank sentral maupun bank komersial dilebur menjadi satu wadah dalam Bank Tunggal. Kebijakan seperti itu tentu saja tidak lazim dilakukan dalam dunia perbankan di mana pun juga, tapi perbankan nasional justru pernah mengalaminya. Selain itu salah satu peristiwa unik yang terjadi dalam periode ini adalah lenyapnya “nama” Bank Indonesia dari dunia perbankan nasional untuk beberapa saat, karena diubah menjadi Bank Negara Indonesia (BNI) Unit I.

PROSES PEMBENTUKAN BANK TUNGGAL 

Rencana peleburan bank-bank pemerintah sebenarnya telah muncul sebelum konsepsi Bank Berjuang dicetuskan dalam Musyawarah Bank Berjuang Sabang Merauke. Berdasarkan dokumen Risalah Rapat Direksi Bank Indonesia tanggal 22 April 1964 pimpinan rapat antara lain memberitahukan rencana sentralisasi bank-bank pemerintah dengan catatan sebagai berikut : “Pimpinan memberitahukan, bahwa ada kemungkinan peleburan bank-bank pemerintah ke dalam Bank Indonesia. Perihal peleburan ini, Direksi-Direksi Bank Pemerintah telah menyatakan kesediaannya kepada Y.M. Menteri Urusan Bank Sentral.”

Catatan risalah tersebut juga sesuai dengan arsip surat pernyataan pimpinan bank-bank pemerintah, termasuk Bank Indonesia, kepada MUBS pada 20 April 1964 yang menyatakan hasil musyawarah Bank Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Umum Negara, Bank Dagang Negara, dan Bank Koperasi Tani dan Nelayan bersedia bergabung menjadi satu bank. 

Rencana peleburan bank-bank pemerintah mulai semakin jelas, ketika pada 11 April 1965 Presiden Soekarno di hadapan Sidang Umum MPRS III menyatakan bahwa struktur perbankan Indonesia secara bertahap akan diarahkan kepada sistem Bank Tunggal. Dengan sistem tersebut diharapkan kebijakan pemerintah di bidang moneter dan perbankan dapat dijalankan secara efektif, efisien dan terpimpin demi suksesnya pelaksanaan program perjuangan pemerintah. 

Sebulan setelah pidato presiden itu, Bank Indonesia mengadakan Konferensi Kerja Berdikari yang diselenggarakan di Jakarta, 4 – 8 Mei 1965, yang dihadiri oleh segenap pemimpin cabang Bank Indonesia seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke, serta kepala-kepala perwakilan di luar negeri. Konferensi tersebut membahas lima pokok persoalan :

1.   Pelaksanaan Program Ekonomi Perjuangan berdasarkan Dekon, Tahun Vivere Pericoloso (Tavip) dan tingkat perkembangan Revolusi Indonesia.
2.      Pengintegrasian perjuangan bank dengan perjuangan masyarakat.
3.     Penjelmaan politik pendidikan dan kepegawaian yang bersifat demokratis, berjiwa Manipol  dan bermutu tinggi.
4.   Meletakkan dasar-dasar lebih kokoh untuk kesatuan antara pimpinan dan organisasi        pekerja.
5.      Meletakkan dasar-dasar yang lebih kokoh untuk kesatuan jiwa antara Bank-Bank Negara. 

          Dalam konferensi kerja yang kedua ini beberapa konsep mengenai Bank Berjuang yang telah dicetuskan dalam Musyawarah Bank Berjuang Sabang Merauke yang digelar setahun sebelumnya kembali dipertegas. Sesuai dengan perkembangan suhu politik luar negeri Indonesia yang semakin mamanas terutama Konfrontasi terhadap Malaysia dihasilkan satu resolusi yang berisi dukungan politik konfrontasi Soekarno terhadap Imperialisme baru. Resolusi yang paling utama adalah resolusi tentang pelaksanaan Dekon/Berdikari, pengintegrasian Bank Berjuang dengan perjuangan masyarakat, politik pendidikan dan kepegawaian, serta dasar-dasar kesatuan antara pimpinan dan organisasi pekerja. 

Tahap pertama dari pelaksanaan penyatuan bank-bank pemerintah ke dalam suatu bank tunggal adalah pengintegrasian bank-bank pemerintah ke dalam bank sentral (Bank Indonesia). Pengintegrasian tersebut ditetapkan melalui Penetapan Presiden No. 8 Tahun 1965 tanggal 4 Juni 1965. Pada tanggal yang sama pemerintah menetapkan pengintegrasian Bank Koperasi Tani dan Nelayan ke dalam Bank Indonesia. Menyusul berikutnya pengintegrasian Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, dan Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia pada 21 Juni 1965. 

Dalam konferensi persnya di Bank Indonesia pada Senin pagi, 26 Juli 1965, MUBS Jusuf Muda Dalam menyatakan bahwa struktur perbankan tunggal dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan Program Ekonomi Perjuangan, sebagaimana digariskan oleh Presiden dalam amanat politiknya di depan Sidang Umum MPRS 11 April 1965. Menurut MUBS adanya struktur tunggal dapat lebih memudahkan pelaksanaan pengawasan dan penggunaan dana-dana secara efisien dan efektif. Selain itu struktur tunggal juga dapat menyebarkan para tenaga ahli perbankan yang akan memperluas jaringan perbankan guna pengaturan sistem pembayaran dan lalu lintas uang yang lebih terpimpin dan terorganisasikan.

Untuk mendukung kebijakan integrasi bank-bank tersebut, secara khusus MUBS membentuk Staf MUBS urusan Persiapan Pengintegrasian Bank-Bank Umum Negara dan Bank Tabungan Negara ke dalam bank sentral (disebut dengan Staf Urusan Integrasi). Staf ini bertugas membantu MUBS/Gubernur Bank Indonesia dalam memikirkan dan merumuskan ketentuan-ketentuan dalam taraf persiapan maupun pelaksanaan integrasi bank-bank pemerintah ke dalam bank sentral secara fungsional, organisatoris, personil, dan administratif. Selain itu pada saat yang sama juga dibentuk Staf Pelaksana Integrasi yang bertugas melaksanakan ketentuan yang akan ditetapkan oleh Staf Urusan Integrasi. 

            Pengintegrasian bank-bank pada tahap pertama itu tidak berjalan secara efektif sesuai dengan Penpres yang menetapkannya. Secara konkrit hanya Bank Koperasi Tani dan Nelayan saja yang benar-benar terintegrasi dengan Bank Indonesia, sementara ketiga bank pemerintah lainnya tampaknya belum pernah secara konkrit berintegrasi ke dalam Bank Indonesia. Dalam hal pengintegrasian Bank Koperasi Tani dan Nelayan, secara khusus MUBS membentuk Panitia Integrasi Bank Koperasi Tani dan Nelayan yang terdiri dari beberapa pimpinan Bank Indonesia dan sejumlah tokoh dari organisasi petani di luar Bank Indonesia. Hal yang sama tidak dilakukan terhadap bank-bank pemerintah lainnya. Selain itu mulai 1 Juli 1965 nama Bank Koperasi Tani dan Nelayan diubah menjadi Bank Indonesia Urusan Koperasi Tani, dan Nelayan. 

Tahap kedua dari penyatuan bank-bank pemerintah adalah dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 17 Tahun 1965 tanggal 27 Juli 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal milik negara. Bank tunggal tersebut bernama Bank Negara Indonesia (BNI). Di dalam wadah Bank Negara Indonesia (bank tunggal) inilah akan dilebur Bank Indonesia, bekas Bank Koperasi Tani dan Nelayan, Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia, dan Bank Dagang Negara. Dalam Penpres tersebut dinyatakan bahwa BNI akan berfungsi sebagai bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum, serta bertugas secara aktif sebagai alat revolusi. 

Dalam pembentukan bank tunggal ini, Bank Dagang Negara dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) tidak ikut bergabung dalam Bank Tunggal, meskipun dalam Penpres No.17 Tahun 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal milik Negara, Bank Dagang Negara termasuk bank pemerintah yang ikut dilebur dalam Bank Tunggal. Absennya BDN dari bank tunggal disebabkan penolakan Direktur Utama Bank Dagang Negara, JD. Massie yang saat itu menjabat sebagai Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta. Ia menyatakan ketidak-setujuannya atas pembentukan bank tunggal kepada Presiden Soekarno dengan alasan bahwa konsep bank tunggal yang menyatukan bank sentral dengan bank-bank umum lainnya akan membingungkan para koresponden di luar negeri. Pendapat Massie tersebut cukup beralasan, sehingga Presiden Soekarno dapat menerimanya meski telah terlanjur menyetujui Bank Tunggal yang dimotori oleh Jusuf Muda Dalam sebagai Menteri Urusan Bank Sentral. 

Sedangkan Bapindo, karena bank tersebut tetap berfungsi sebagai bank pembangunan bukan bank umum maka tidak dilebur bersama bank pemerintah lainnya dalam bank tunggal. Selain itu, Bapindo berada dibawah wewenang Kompartemen Pembangunan, sehingga tidak termasuk dalam wewenang Menteri Urusan Bank Sentral yang berada dalam Kompartemen Keuangan.

Keberadaan Bank Dagang Negara di luar struktur Bank Tunggal itu kemudian dikukuhkan dalam Penpres No. 21 Tahun 1965 tentang Berlangsungnya Bank Dagang Negara. Dalam penpres yang dikeluarkan pada 24 September 1965 itu disebutkan bahwa Bank Dagang Negara tetap beroperasi berdasarkan undang-undang pendiriannya. Struktur, organisasi dan kegiatan Bank Dagang Negara tetap seperti sedia kala, tidak berubah. Dalam penpres disebutkan bahwa hal itu dilakukan karena dalam rangka mempertinggi efektivitas dan efisiensi kerja serta usaha yang sedang dan terus dilakukan oleh Bank Dagang Negara.

Berakhirnya Bank Tunggal Pada akhir 1965 dan awal 1966 Indonesia penuh dengan gejolak, tekanan ekonomi yang semakin berat terus menghimpit kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ditambah lagi, dampak Peristiwa 30 September1965 secara politis telah menggiring pada suatu proses peluruhan kekuasaan pemerintahan terpimpin. Demonstrasi mahasiswa (angkatan 66) yang menuntut perbaikan keadaan ekonomi, sosial, dan politik, mulai menggoyahkan kekuasaan pemerintah.  Kemudian, pada Maret 1966 lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberikan wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk menertibkan keadaan. Salah satu tindakan penertiban itu adalah pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menangkap beberapa tokoh menteri yang dianggap bersinggungan dengan partai tersebut. Gubernur bank tunggal, MUBS Jusuf Muda Dalam adalah salah seorang menteri yang ditangkap itu. 

Penangkapan itu menyebabkan MUBS absen dari kepemimpinannya dalam bank tunggal. Langkah pertama yang diambil pemerintah untuk mengisi kekosongan itu adalah mengangkat Menteri Koordinator Kompartemen Keuangan, Soemarno diangkat sebagai Menteri ad interim Urusan Bank Sentral. Pada saat itu dalam struktur Kabinet Dwikora II Urusan Bank Sentral bernaung dalam kompartemen keuangan. Menteri ad interim ini segera melakukan beberapa langkah pemulihan bank sentral, antara lain dengan membentuk Tim Koordinasi pada 25 Maret 1966.

Setelah untuk beberapa saat bank tunggal dipimpin oleh seorang menteri ad interim, pada 27 Maret 1966 dalam Kabinet Dwikora III (27 Maret 1966 - 25 Juli 1966) diangkatlah Radius Prawiro sebagai Deputi Menteri Urusan Bank Sentral sekaligus sebagai Gubernur Bank Negara Indonesia. Di bawah gubernur yang baru ini proses pemulihan fungsi bank sentral terus berlanjut.  Melanjutkan kebijakan menteri ad interim MUBS sebelumnya, pada 6 April 1966 Radius Prawiro mengangkat beberapa pegawai dari Direktorat Akuntan Negara dan pejabat Bank Negara Indonesia sebagai anggota Tim Pemeriksa Intern. Tim pemeriksa itu telah dibentuk oleh menteri ad interim Soemarno pada 30 Maret 1966 untuk membantu pelaksanaan tugas-tugas Tim Koordinasi. 

Berkaitan dengan hal ini, Radius Prawiro dalam buku terakhirnya mengatakan :
“Segera setelah Kabinet Ampera diresmikan, sebuah pemeriksaan keuangan diadakan atas bank sentral dan bank-bank negara. Tujuan pertama dari pemeriksaan keuangan ini adalah untuk memperoleh pengertian tentang keadaan keuangan bank sentral pada saat itu, dan kedua untuk merekonstruksi catatan-catatan akuntansi yang berlaku surut yang terlantar atau dipalsukan pada tahun-tahun sebelumnya.”Tidak diketahui dengan pasti apakah tindakan audit keuangan ini terkait erat dengan pembentukan Tim Pemeriksa Intern yang melibatkan para Akuntan Negara tersebut. Berdasarkan keterangan diatas, Tim dibentuk pada April 1966, sedangkan tindakan audit dilakukan setelah pembentukan Kabinet Ampera, Juli 1966. Terlepas dari perbedaan itu, hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa sebelum menyusun struktur bank sentral dan perbankan yang baru, terlebih dahulu dilakukan tindakan yang dapat memberikan gambaran akurat dari keadaan bank sentral dan perbankan.

Selanjutnya kebijakan pemulihan bank sentral diteruskan dengan pembentukan suatu tim yang bertugas dalam merumuskan usul-usul dan rancangan-rancangan penyempurnaan Bank Negara Indonesia Unit I pada 3 Juni 1966. Agaknya tim tersebut berkaitan erat dengan dua tim yang disebutkan oleh Radius Prawiro dalam pidatonya, yaitu Tim Penertiban Personalia dan Tim Peninjauan Struktur Organisasi Bank. Kedua tim tersebut dibentuk sebagai persiapan reorganisasi BNI Unit I untuk kembali kepada fungsinya sebagai Bank Sentral. Khusus untuk Tim Penertiban Personalia bertugas terutama untuk melakukan screening pegawai dari unsur-unsur yang terlibat PKI. Akhirnya pada 28 Juli 1966 pemerintah mengesahkan terbentuknya Kabinet Ampera (25 Juli 1966 - 17 Oktober 1967) yang dipimpin oleh Letjend. Soeharto sebagai ketua presidium kabinet. Dalam susunan kabinet yang baru ini, tidak lagi kita jumpai pos Urusan Bank Sentral di dalamnya. Artinya, sejak berlakunya kabinet Ampera itu, kedudukan gubernur bank sentral kembali berada di luar kabinet dan tentunya tidak lagi merangkap sebagai menteri urusan bank sentral, seperti sebelum masa terpimpin.

Setelah berdirinya Kabinet Ampera, pemerintah kemudian mengukuhkan Radius Prawiro sebagai Gubernur Bank Negara Indonesia pada 15 Agustus 1966. Pada saat pelantikan Gubernur Bank Negara Indonesia, Menteri Utama Bidang Ekonomi dan Keuangan dalam sambutannya antara lain mengatakan : “Dengan gembira saya melihat bahwa di dalam Kabinet Ampera yang sekarang ini Gubernur Bank Negara Indonesia tidak termasuk sebagai anggauta Kabinet, bahkan tidak diberikan pangkat Menteri. Yang demikian itu berarti bahwa Gubernur Bank Negara Indonesia beserta Bank Negara Indonesia yang dipimpin olehnya tidak lagi menjadi bagian dari Pemerintahan. Akan tetapi secara independen berdiri di samping Pemerintah Republik Indonesia di dalam bidang ekonomi dan keuangan.” 

Demikianlah akhirnya kedudukan bank sentral untuk sementara waktu telah dapat dipulihkan kembali. Meskipun belum tuntas seluruhnya, tapi pemulihan itu cukup berarti bagi bank sentral agar kembali bebas tanpa tekanan dalam menilai dan mengoreksi tindakan pemerintah dalam bidang ekonomi, terutama yang berkaitan dengan kebijakan moneter. Bahkan pada saat itu bank sentral diharapkan dapat segera memberikan dukungan yang berpengaruh bagi pelaksanaan program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi yang sedang porak poranda.

Sementara itu sambil menunggu proses perumusan undang-undang perbankan yang baru, dalam 1966 itu secara de facto telah ditetapkan bahwa seluruh bank pemerintah kembali menjalankan usahanya sesuai dengan undang-undang lama yang menetapkan pendirian masing-masing bank. Berdasarkan ketetapan tersebut, sistem bank tunggal secara praktis telah berakhir.


STRUKTURISASI SISTEM PERBANKAN INDONESIA

Strukturisasi Perbankan Indonesia merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk,  dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan.   Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Berpijak dari adanya kebutuhan blue print perbankan nasional dan sebagai kelanjutan dari program restrukturisasi perbankan yang sudah berjalan sejak tahun 1998, maka Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004 telah meluncurkan API sebagai suatu kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan industri perbankan Indonesia ke depan.  Peluncuran API tersebut tidak terlepas pula dari upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membangun kembali perekonomian Indonesia melalui penerbitan buku putih Pemerintah sesuai dengan Inpres No. 5 Tahun 2003, dimana API menjadi salah satu program utama dalam buku putih tersebut.

Bertitik tolak dari keinginan untuk memiliki fundamental perbankan yang lebih kuat dan dengan memperhatikan masukan-masukan yang diperoleh dalam mengimplementasikan API selama dua tahun terakhir, maka Bank Indonesia merasa perlu untuk menyempurnakan program-program kegiatan yang tercantum dalam API.  Penyempurnaan program-program kegiatan API tersebut tidak terlepas pula dari perkembangan-perkembangan yang terjadi pada perekonomian nasional maupun internasional.  Penyempurnaan terhadap program-program API tersebut antara lain mencakup strategi-strategi yang lebih spesifik mengenai pengembangan perbankan syariah, BPR, dan UMKM ke depan sehingga API diharapkan memiliki program kegiatan yang lebih lengkap dan komprehensif yang mencakup sistem perbankan secara menyeluruh terkait Bank umum dan BPR, baik konvensional maupun syariah, serta  pengembangan UMKM.


BANK INDONESIA SEBAGAI BADAN HUKUM

Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.



BANK INDONESIA SEBAGAI BANK CENTRAL

Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999 dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 6/ 2009. Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerint​​ah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.

Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.

Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.


VISI DAN MISI BANK INDONESIA

·         VISI
Menjadi lembaga bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil.

·         MISI
1.  Mencapai stabilitas nilai rupiah dan menjaga efektivitas transmisi kebijakan moneter untuk               mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
2. Mendorong sistem keuangan nasional bekerja secara efektif  dan efisien serta mampu bertahan       terhadap gejolak internal dan eksternal untuk mendukung alokasi sumber                                                    pendanaan/pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian       nasional.
3. Mewujudkan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar yang berkontribusi terhadap         perekonomian, stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan dengan memperhatikan aspek    perluasan akses dan kepentingan nasional.
Meningkatkan dan memelihara organisasi dan SDM Bank Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai strategis dan berbasis kinerja, serta melaksanakan tata kelola (governance) yang berkualitas dalam rangka melaksanakan tugas yang diamanatkan UU.

Referensi











Komentar

Postingan Populer