PERANAN BANK INDONESIA DALAM PERBANKAN BAGIAN SISTEM BANK INDONESIA
Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan
Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang
Bank Indonesia. Untuk menjaga stabilitas rupiah itu perlu disokong pengaturan
dan pengelolaan akan kelancaran Sistem Pembayaran Nasional (SPN). Kelancaran
SPN ini juga perlu didukung oleh infrastruktur yang handal (robust). Jadi,
semakin lancar dan hadal SPN, maka akan semakin lancar pula transmisi kebijakan
moneter yang bersifat time critical. Bila kebijakan moneter berjalan lancar
maka muaranya adalah stabilitas nilai tukar.
BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai
otoritas moneter, bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan
SPN. Selain itu, BI juga memiliki kewenangan memeberikan persetujuan dan
perizinan serta melakukan pengawasan (oversight) atas SPN. Menyadari kelancaran
SPN yang bersifat penting secara sistem (systemically important), bank sentral
memandang perlu menyelenggarakan sistem settlement antar bank melalui infrastruktur
BI-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Selain itu masih ada tugas BI dalam SPN, misalnya, peran sebagai
penyelenggara sistem kliring antarbank untuk jenis alat-alat pembayaran
tertentu. Bank sentral juga adalah satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan
dan mengedarkan alat pembayaran tunai seperti uang rupiah. BI juga berhak
mencabut, menarik hingga memusnahkan uang rupiah yang sudah tak berlaku dari
peredaran.
SISTEM BANK TUNGGAL
Bank Tunggal adalah unit bank yaitu sistem perbankan, yaitu suatu bank hanya dapat melakukan kegiatan
operasionalnya berdiri sendiri tanpa jaringan kantor cabang bank, sistem ini berlaku di negara -negara bagian di Amerika Serikat yang memiliki
Peraturan tentang Bank Tunggal (Unit Banking Law).
Pada
masa lalu Bank Indonesia dan dunia perbankan nasional pernah mengalami suatu
perubahan revolusioner, yaitu sistem perbankan tunggal. Dalam sistem itu semua
bank, baik bank sentral maupun bank komersial dilebur menjadi satu wadah dalam
Bank Tunggal. Kebijakan seperti itu tentu saja tidak lazim dilakukan dalam
dunia perbankan di mana pun juga, tapi perbankan nasional justru pernah
mengalaminya. Selain itu salah satu peristiwa unik yang terjadi dalam periode
ini adalah lenyapnya “nama” Bank Indonesia dari dunia perbankan nasional untuk
beberapa saat, karena diubah menjadi Bank Negara Indonesia (BNI) Unit I.
PROSES PEMBENTUKAN
BANK TUNGGAL
Rencana
peleburan bank-bank pemerintah sebenarnya telah muncul sebelum konsepsi Bank
Berjuang dicetuskan dalam Musyawarah Bank Berjuang Sabang Merauke. Berdasarkan
dokumen Risalah Rapat Direksi Bank Indonesia tanggal 22 April 1964 pimpinan
rapat antara lain memberitahukan rencana sentralisasi bank-bank pemerintah
dengan catatan sebagai berikut : “Pimpinan
memberitahukan, bahwa ada kemungkinan peleburan bank-bank pemerintah ke dalam
Bank Indonesia. Perihal peleburan ini, Direksi-Direksi Bank Pemerintah telah
menyatakan kesediaannya kepada Y.M. Menteri Urusan Bank Sentral.”
Catatan
risalah tersebut juga sesuai dengan arsip surat pernyataan pimpinan bank-bank
pemerintah, termasuk Bank Indonesia, kepada MUBS pada 20 April 1964 yang
menyatakan hasil musyawarah Bank Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Umum
Negara, Bank Dagang Negara, dan Bank Koperasi Tani dan Nelayan bersedia
bergabung menjadi satu bank.
Rencana
peleburan bank-bank pemerintah mulai semakin jelas, ketika pada 11 April 1965 Presiden
Soekarno di hadapan Sidang Umum MPRS III menyatakan bahwa struktur perbankan
Indonesia secara bertahap akan diarahkan kepada sistem Bank Tunggal. Dengan
sistem tersebut diharapkan kebijakan pemerintah di bidang moneter dan perbankan
dapat dijalankan secara efektif, efisien dan terpimpin demi suksesnya
pelaksanaan program perjuangan pemerintah.
Sebulan
setelah pidato presiden itu, Bank Indonesia mengadakan Konferensi Kerja
Berdikari yang diselenggarakan di Jakarta, 4 – 8 Mei 1965, yang dihadiri oleh
segenap pemimpin cabang Bank Indonesia seluruh Indonesia dari Sabang sampai
Merauke, serta kepala-kepala perwakilan di luar negeri. Konferensi tersebut
membahas lima pokok persoalan :
1. Pelaksanaan Program Ekonomi Perjuangan
berdasarkan Dekon, Tahun Vivere Pericoloso (Tavip) dan tingkat perkembangan
Revolusi Indonesia.
2. Pengintegrasian perjuangan bank dengan
perjuangan masyarakat.
3. Penjelmaan politik pendidikan dan
kepegawaian yang bersifat demokratis, berjiwa Manipol dan bermutu tinggi.
4. Meletakkan dasar-dasar lebih kokoh
untuk kesatuan antara pimpinan dan organisasi pekerja.
5. Meletakkan dasar-dasar yang lebih
kokoh untuk kesatuan jiwa antara Bank-Bank Negara.
Dalam konferensi kerja yang kedua ini beberapa konsep mengenai Bank Berjuang yang
telah dicetuskan dalam Musyawarah Bank Berjuang Sabang Merauke yang digelar
setahun sebelumnya kembali dipertegas. Sesuai dengan perkembangan suhu politik
luar negeri Indonesia yang semakin mamanas terutama Konfrontasi terhadap
Malaysia dihasilkan satu resolusi yang berisi dukungan politik konfrontasi
Soekarno terhadap Imperialisme baru. Resolusi yang paling utama adalah resolusi
tentang pelaksanaan Dekon/Berdikari, pengintegrasian Bank Berjuang dengan
perjuangan masyarakat, politik pendidikan dan kepegawaian, serta dasar-dasar
kesatuan antara pimpinan dan organisasi pekerja.
Tahap
pertama dari pelaksanaan penyatuan bank-bank pemerintah ke dalam suatu bank
tunggal adalah pengintegrasian bank-bank pemerintah ke dalam bank sentral (Bank
Indonesia). Pengintegrasian tersebut ditetapkan melalui Penetapan Presiden No.
8 Tahun 1965 tanggal 4 Juni 1965. Pada tanggal yang sama pemerintah menetapkan
pengintegrasian Bank Koperasi Tani dan Nelayan ke dalam Bank Indonesia.
Menyusul berikutnya pengintegrasian Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, dan
Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia pada 21 Juni 1965.
Dalam
konferensi persnya di Bank Indonesia pada Senin pagi, 26 Juli 1965, MUBS Jusuf
Muda Dalam menyatakan bahwa struktur perbankan tunggal dilaksanakan dalam
rangka pelaksanaan Program Ekonomi Perjuangan, sebagaimana digariskan oleh
Presiden dalam amanat politiknya di depan Sidang Umum MPRS 11 April 1965.
Menurut MUBS adanya struktur tunggal dapat lebih memudahkan pelaksanaan
pengawasan dan penggunaan dana-dana secara efisien dan efektif. Selain itu
struktur tunggal juga dapat menyebarkan para tenaga ahli perbankan yang akan memperluas
jaringan perbankan guna pengaturan sistem pembayaran dan lalu lintas uang yang
lebih terpimpin dan terorganisasikan.
Untuk
mendukung kebijakan integrasi bank-bank tersebut, secara khusus MUBS membentuk
Staf MUBS urusan Persiapan Pengintegrasian Bank-Bank Umum Negara dan Bank
Tabungan Negara ke dalam bank sentral (disebut dengan Staf Urusan Integrasi).
Staf ini bertugas membantu MUBS/Gubernur Bank Indonesia dalam memikirkan dan
merumuskan ketentuan-ketentuan dalam taraf persiapan maupun pelaksanaan
integrasi bank-bank pemerintah ke dalam bank sentral secara fungsional,
organisatoris, personil, dan administratif. Selain itu pada saat yang sama juga
dibentuk Staf Pelaksana Integrasi yang bertugas melaksanakan ketentuan yang
akan ditetapkan oleh Staf Urusan Integrasi.
Pengintegrasian bank-bank pada tahap pertama itu tidak berjalan secara efektif sesuai dengan Penpres yang menetapkannya. Secara konkrit hanya Bank Koperasi Tani dan Nelayan saja yang benar-benar terintegrasi dengan Bank Indonesia, sementara ketiga bank pemerintah lainnya tampaknya belum pernah secara konkrit berintegrasi ke dalam Bank Indonesia. Dalam hal pengintegrasian Bank Koperasi Tani dan Nelayan, secara khusus MUBS membentuk Panitia Integrasi Bank Koperasi Tani dan Nelayan yang terdiri dari beberapa pimpinan Bank Indonesia dan sejumlah tokoh dari organisasi petani di luar Bank Indonesia. Hal yang sama tidak dilakukan terhadap bank-bank pemerintah lainnya. Selain itu mulai 1 Juli 1965 nama Bank Koperasi Tani dan Nelayan diubah menjadi Bank Indonesia Urusan Koperasi Tani, dan Nelayan.
Tahap
kedua dari penyatuan bank-bank pemerintah adalah dikeluarkannya Penetapan
Presiden No. 17 Tahun 1965 tanggal 27 Juli 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal
milik negara. Bank tunggal tersebut bernama Bank Negara Indonesia (BNI). Di
dalam wadah Bank Negara Indonesia (bank tunggal) inilah akan dilebur Bank
Indonesia, bekas Bank Koperasi Tani dan Nelayan, Bank Umum Negara, Bank
Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia, dan Bank Dagang Negara. Dalam Penpres tersebut
dinyatakan bahwa BNI akan berfungsi sebagai bank sirkulasi, bank sentral dan
bank umum, serta bertugas secara aktif sebagai alat revolusi.
Dalam
pembentukan bank tunggal ini, Bank Dagang Negara dan Bank Pembangunan Indonesia
(Bapindo) tidak ikut bergabung dalam Bank Tunggal, meskipun dalam Penpres No.17
Tahun 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal milik Negara, Bank Dagang Negara
termasuk bank pemerintah yang ikut dilebur dalam Bank Tunggal. Absennya BDN
dari bank tunggal disebabkan penolakan Direktur Utama Bank Dagang Negara, JD.
Massie yang saat itu menjabat sebagai Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal
Swasta. Ia menyatakan ketidak-setujuannya atas pembentukan bank tunggal kepada
Presiden Soekarno dengan alasan bahwa konsep bank tunggal yang menyatukan bank
sentral dengan bank-bank umum lainnya akan membingungkan para koresponden di
luar negeri. Pendapat Massie tersebut cukup beralasan, sehingga Presiden
Soekarno dapat menerimanya meski telah terlanjur menyetujui Bank Tunggal yang
dimotori oleh Jusuf Muda Dalam sebagai Menteri Urusan Bank Sentral.
Sedangkan
Bapindo, karena bank tersebut tetap berfungsi sebagai bank pembangunan bukan
bank umum maka tidak dilebur bersama bank pemerintah lainnya dalam bank
tunggal. Selain itu, Bapindo berada dibawah wewenang Kompartemen Pembangunan,
sehingga tidak termasuk dalam wewenang Menteri Urusan Bank Sentral yang berada
dalam Kompartemen Keuangan.
Keberadaan
Bank Dagang Negara di luar struktur Bank Tunggal itu kemudian dikukuhkan dalam
Penpres No. 21 Tahun 1965 tentang Berlangsungnya Bank Dagang Negara. Dalam
penpres yang dikeluarkan pada 24 September 1965 itu disebutkan bahwa Bank
Dagang Negara tetap beroperasi berdasarkan undang-undang pendiriannya.
Struktur, organisasi dan kegiatan Bank Dagang Negara tetap seperti sedia kala,
tidak berubah. Dalam penpres disebutkan bahwa hal itu dilakukan karena dalam
rangka mempertinggi efektivitas dan efisiensi kerja serta usaha yang sedang dan
terus dilakukan oleh Bank Dagang Negara.
Berakhirnya
Bank Tunggal Pada akhir 1965 dan awal 1966 Indonesia penuh dengan gejolak,
tekanan ekonomi yang semakin berat terus menghimpit kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Ditambah lagi, dampak Peristiwa 30 September1965 secara politis
telah menggiring pada suatu proses peluruhan kekuasaan pemerintahan terpimpin.
Demonstrasi mahasiswa (angkatan 66) yang menuntut perbaikan keadaan ekonomi,
sosial, dan politik, mulai menggoyahkan kekuasaan pemerintah. Kemudian,
pada Maret 1966 lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang
memberikan wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk menertibkan keadaan. Salah
satu tindakan penertiban itu adalah pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan menangkap beberapa tokoh menteri yang dianggap bersinggungan dengan partai
tersebut. Gubernur bank tunggal, MUBS Jusuf Muda Dalam adalah salah seorang
menteri yang ditangkap itu.
Penangkapan
itu menyebabkan MUBS absen dari kepemimpinannya dalam bank tunggal. Langkah
pertama yang diambil pemerintah untuk mengisi kekosongan itu adalah mengangkat
Menteri Koordinator Kompartemen Keuangan, Soemarno diangkat sebagai Menteri ad
interim Urusan Bank Sentral. Pada saat itu dalam struktur Kabinet Dwikora II
Urusan Bank Sentral bernaung dalam kompartemen keuangan. Menteri ad interim ini
segera melakukan beberapa langkah pemulihan bank sentral, antara lain dengan
membentuk Tim Koordinasi pada 25 Maret 1966.
Setelah
untuk beberapa saat bank tunggal dipimpin oleh seorang menteri ad interim, pada
27 Maret 1966 dalam Kabinet Dwikora III (27 Maret 1966 - 25 Juli 1966)
diangkatlah Radius Prawiro sebagai Deputi Menteri Urusan Bank Sentral sekaligus
sebagai Gubernur Bank Negara Indonesia. Di bawah gubernur yang baru ini proses
pemulihan fungsi bank sentral terus berlanjut. Melanjutkan kebijakan
menteri ad interim MUBS sebelumnya, pada 6 April 1966 Radius Prawiro mengangkat
beberapa pegawai dari Direktorat Akuntan Negara dan pejabat Bank Negara
Indonesia sebagai anggota Tim Pemeriksa Intern. Tim pemeriksa itu telah
dibentuk oleh menteri ad interim Soemarno pada 30 Maret 1966 untuk membantu
pelaksanaan tugas-tugas Tim Koordinasi.
Berkaitan
dengan hal ini, Radius Prawiro dalam buku terakhirnya mengatakan :
“Segera setelah Kabinet Ampera diresmikan, sebuah pemeriksaan keuangan diadakan atas bank sentral dan bank-bank negara. Tujuan pertama dari pemeriksaan keuangan ini adalah untuk memperoleh pengertian tentang keadaan keuangan bank sentral pada saat itu, dan kedua untuk merekonstruksi catatan-catatan akuntansi yang berlaku surut yang terlantar atau dipalsukan pada tahun-tahun sebelumnya.”Tidak diketahui dengan pasti apakah tindakan audit keuangan ini terkait erat dengan pembentukan Tim Pemeriksa Intern yang melibatkan para Akuntan Negara tersebut. Berdasarkan keterangan diatas, Tim dibentuk pada April 1966, sedangkan tindakan audit dilakukan setelah pembentukan Kabinet Ampera, Juli 1966. Terlepas dari perbedaan itu, hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa sebelum menyusun struktur bank sentral dan perbankan yang baru, terlebih dahulu dilakukan tindakan yang dapat memberikan gambaran akurat dari keadaan bank sentral dan perbankan.
“Segera setelah Kabinet Ampera diresmikan, sebuah pemeriksaan keuangan diadakan atas bank sentral dan bank-bank negara. Tujuan pertama dari pemeriksaan keuangan ini adalah untuk memperoleh pengertian tentang keadaan keuangan bank sentral pada saat itu, dan kedua untuk merekonstruksi catatan-catatan akuntansi yang berlaku surut yang terlantar atau dipalsukan pada tahun-tahun sebelumnya.”Tidak diketahui dengan pasti apakah tindakan audit keuangan ini terkait erat dengan pembentukan Tim Pemeriksa Intern yang melibatkan para Akuntan Negara tersebut. Berdasarkan keterangan diatas, Tim dibentuk pada April 1966, sedangkan tindakan audit dilakukan setelah pembentukan Kabinet Ampera, Juli 1966. Terlepas dari perbedaan itu, hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa sebelum menyusun struktur bank sentral dan perbankan yang baru, terlebih dahulu dilakukan tindakan yang dapat memberikan gambaran akurat dari keadaan bank sentral dan perbankan.
Selanjutnya
kebijakan pemulihan bank sentral diteruskan dengan pembentukan suatu tim yang
bertugas dalam merumuskan usul-usul dan rancangan-rancangan penyempurnaan Bank
Negara Indonesia Unit I pada 3 Juni 1966. Agaknya tim tersebut berkaitan erat
dengan dua tim yang disebutkan oleh Radius Prawiro dalam pidatonya, yaitu Tim
Penertiban Personalia dan Tim Peninjauan Struktur Organisasi Bank. Kedua tim
tersebut dibentuk sebagai persiapan reorganisasi BNI Unit I untuk kembali
kepada fungsinya sebagai Bank Sentral. Khusus untuk Tim Penertiban Personalia
bertugas terutama untuk melakukan screening pegawai dari unsur-unsur yang
terlibat PKI. Akhirnya pada 28 Juli 1966 pemerintah mengesahkan terbentuknya
Kabinet Ampera (25 Juli 1966 - 17 Oktober 1967) yang dipimpin oleh Letjend.
Soeharto sebagai ketua presidium kabinet. Dalam susunan kabinet yang baru ini,
tidak lagi kita jumpai pos Urusan Bank Sentral di dalamnya. Artinya, sejak
berlakunya kabinet Ampera itu, kedudukan gubernur bank sentral kembali berada
di luar kabinet dan tentunya tidak lagi merangkap sebagai menteri urusan bank
sentral, seperti sebelum masa terpimpin.
Setelah
berdirinya Kabinet Ampera, pemerintah kemudian mengukuhkan Radius Prawiro
sebagai Gubernur Bank Negara Indonesia pada 15 Agustus 1966. Pada saat
pelantikan Gubernur Bank Negara Indonesia, Menteri Utama Bidang Ekonomi dan
Keuangan dalam sambutannya antara lain mengatakan : “Dengan gembira saya
melihat bahwa di dalam Kabinet Ampera yang sekarang ini Gubernur Bank Negara
Indonesia tidak termasuk sebagai anggauta Kabinet, bahkan tidak diberikan
pangkat Menteri. Yang demikian itu berarti bahwa Gubernur Bank Negara Indonesia
beserta Bank Negara Indonesia yang dipimpin olehnya tidak lagi menjadi bagian
dari Pemerintahan. Akan tetapi secara independen berdiri di samping Pemerintah
Republik Indonesia di dalam bidang ekonomi dan keuangan.”
Demikianlah
akhirnya kedudukan bank sentral untuk sementara waktu telah dapat dipulihkan
kembali. Meskipun belum tuntas seluruhnya, tapi pemulihan itu cukup berarti
bagi bank sentral agar kembali bebas tanpa tekanan dalam menilai dan mengoreksi
tindakan pemerintah dalam bidang ekonomi, terutama yang berkaitan dengan
kebijakan moneter. Bahkan pada saat itu bank sentral diharapkan dapat segera
memberikan dukungan yang berpengaruh bagi pelaksanaan program stabilisasi dan
rehabilitasi ekonomi yang sedang porak poranda.
Sementara
itu sambil menunggu proses perumusan undang-undang perbankan yang baru, dalam
1966 itu secara de facto telah ditetapkan bahwa seluruh bank pemerintah kembali
menjalankan usahanya sesuai dengan undang-undang lama yang menetapkan pendirian
masing-masing bank. Berdasarkan ketetapan tersebut, sistem bank tunggal secara
praktis telah berakhir.
STRUKTURISASI SISTEM PERBANKAN INDONESIA
Strukturisasi Perbankan Indonesia merupakan suatu kerangka dasar
sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah,
bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai
sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri
perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai
suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan
sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Berpijak dari adanya kebutuhan blue print perbankan nasional dan sebagai
kelanjutan dari program restrukturisasi perbankan yang sudah berjalan sejak
tahun 1998, maka Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004 telah meluncurkan
API sebagai suatu kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan industri
perbankan Indonesia ke depan. Peluncuran API tersebut tidak terlepas pula
dari upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membangun kembali perekonomian
Indonesia melalui penerbitan buku putih Pemerintah sesuai dengan Inpres No. 5
Tahun 2003, dimana API menjadi salah satu program utama dalam buku putih
tersebut.
Bertitik tolak dari keinginan untuk memiliki
fundamental perbankan yang lebih kuat dan dengan memperhatikan masukan-masukan
yang diperoleh dalam mengimplementasikan API selama dua tahun terakhir, maka
Bank Indonesia merasa perlu untuk menyempurnakan program-program kegiatan yang
tercantum dalam API. Penyempurnaan program-program kegiatan API tersebut
tidak terlepas pula dari perkembangan-perkembangan yang terjadi pada
perekonomian nasional maupun internasional. Penyempurnaan terhadap program-program
API tersebut antara lain mencakup strategi-strategi yang lebih spesifik
mengenai pengembangan perbankan syariah, BPR, dan UMKM ke depan sehingga API
diharapkan memiliki program kegiatan yang lebih lengkap dan komprehensif yang
mencakup sistem perbankan secara menyeluruh terkait Bank umum dan BPR, baik
konvensional maupun syariah, serta pengembangan UMKM.
BANK INDONESIA
SEBAGAI BADAN HUKUM
Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum
perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank
Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan
pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai
dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat
bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.
BANK INDONESIA
SEBAGAI BANK CENTRAL
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dimulai ketika sebuah
undang-undang baru, yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17
Mei 1999 dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia
No. 6/ 2009. Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu
lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas
dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam undang-undang ini.
Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan
setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang
tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank
Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan
intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.
Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia
dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih
efektif dan efisien.
VISI DAN MISI
BANK INDONESIA
·
VISI
Menjadi lembaga bank sentral yang kredibel dan terbaik
di regional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta
pencapaian inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil.
·
MISI
1. Mencapai
stabilitas nilai rupiah dan menjaga efektivitas transmisi kebijakan moneter
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
2. Mendorong
sistem keuangan nasional bekerja secara efektif dan efisien serta mampu
bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal untuk mendukung alokasi sumber pendanaan/pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas
perekonomian nasional.
3. Mewujudkan sistem
pembayaran yang aman, efisien, dan lancar yang berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan dengan
memperhatikan aspek perluasan akses dan kepentingan nasional.
Meningkatkan
dan memelihara organisasi dan SDM Bank Indonesia yang menjunjung tinggi
nilai-nilai strategis dan berbasis kinerja, serta melaksanakan tata kelola
(governance) yang berkualitas dalam rangka melaksanakan tugas yang diamanatkan
UU.
Referensi
Komentar
Posting Komentar